Review Layar Lebar: Thunderbolts*


Jakarta, CNN Indonesia

Thunderbolts* sanggup mengantarkan Marvel Cinematic Universe (MCU) kembali ke orbit berkat kedalaman cerita, eksekusi brilian, serta penampilan apik pemerannya. Layar Lebar ini menjadi kepingan tepat bagi MCU yang bakal memasuki puncak The Multiverse Saga.

Bagi saya, mudah rasanya untuk menyimpulkan Thunderbolts* sebagai Layar Lebar yang bagus Bila mengacu standar MCU. Apalagi dibandingkan dengan rilisan setelah Endgame (2019) yang masih hit and miss.



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Thunderbolts* dibangun dengan cerita yang berbeda dari cetakan MCU belakangan. Eric Pearson selaku penulis cerita Ingin memilih jalur di luar pakem dengan menghindar dari godaan multiverse yang biasanya bertabur karakter kejutan.

Alih-alih memakai jalan pintas itu, Pearson yang turut menulis skenario bersama Joanna Calo justru fokus menyelami perjalanan awal antihero ‘buangan’ MCU menjadi kelompok baru bernama Thunderbolts.




Bukan hanya penuh adegan Liga menegangkan dan interaksi lucu karena banyak kekacauan, plot Thunderbolts* Bahkan dilapisi kedalaman emosi yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Penonton diajak melihat sisi lain dari mereka yang jauh dari kesan mulia. Ada Yelena Belova (Florence Pugh) yang hilang arah dan Setiap Waktu merasa hampa, Alexei (David Harbour) yang sulit beranjak dari kejayaan masa lalu, atau John Walker (Wyatt Russell) yang kehidupan pribadinya ikut kacau setelah gagal menjadi Captain America.

Review Layar Lebar Thunderbolts*: Penonton dengan mudah masuk ke dunia Yelena sejak awal karena langsung menggebrak lewat aksi terjun dari puncak Merdeka 118, gedung tertinggi kedua di dunia yang berada di Malaysia. (Courtesy of Marvel Studios)

Ditambah lagi, ada pula Bucky Barnes (Sebastian Stan) yang menjalani dua dunia sebagai Winter Soldier dan anggota Kongres AS, Ghost (Hannah John-Kamen) yang mampu mengendalikan kekuatan, Sampai sekarang Bob (Lewis Pullman) si anak baru yang punya kekuatan besar meski tak sengaja ikut geng tersebut.

Latar belakang setiap karakter yang beragam itu pun menjadi bekal bagi sutradara Jake Schreier untuk mengeksplorasi emosi cerita dengan tema utama tentang penebusan Sampai sekarang pencarian jati diri.

Bobot emosi yang tersemat dalam Thunderbolts* Membantu Layar Lebar ini menjadi lebih dari sebatas cerita heroisme. Ia Bahkan menyalurkan bentuk-bentuk kerapuhan, kebuntuan, Sampai sekarang kecamuk lewat dialog dan tindakan para karakternya.

Nuansa ini mengingatkan saya dengan trilogi Guardians of the Galaxy yang Bahkan mengusung tema ragtag group dari geng penjaga galaksi. Kehadiran Thunderbolts* bagaikan Resep bagi penonton MCU yang merindukan cerita penuh emosi selepas berakhirnya trilogi GOTG.

Di sisi lain, cerita yang bersandar kepada dinamika geng Thunderbolts itu menyebabkan efek samping berupa figur villain yang tak dominan. Musuh yang terpampang itu justru tertindih perjalanan setiap karakter utama menghadapi masalah hidupnya.

Thunderbolts* Bahkan cukup bertanggung jawab memenuhi ekspektasi, terutama dengan gimik marketing mereka yang mengaitkannya dengan studio indie A24.

Orang-orang di balik layar yang sebelumnya pernah terlibat dalam proyek A24 itu mampu memberi warna baru ketika masuk barisan MCU yang notabene lebih bernuansa pop.

Jake Schreier dan Joanna Calo yang menggarap Beef (2023) mampu mengemas cerita dengan gaya segar, begitu pula dengan eksekusi visual dari Andrew Droz Palermo yang merupakan pengarah sinematografi The Green Knight (2021).

Dari kursi penata musik, trio eksperimental Son Lux bisa menyulap scoring Thunderbolts* menjadi ‘karakter’ baru yang ikut berjalan dengan cerita. Capaian ini meneruskan tren impresif Son Lux sebagai komposer di medium Layar Lebar setelah mengerjakan scoring Everything Everywhere All at Once (2022).

Penampilan para pemeran Bahkan menjadi aspek penting lain yang Membantu Thunderbolts* semakin berkelas. Nama-nama yang memiliki peran minor atau menjadi villain di MCU Di waktu ini Bahkan mendapat porsi lebih besar untuk bersinar.

Kesempatan itu dimanfaatkan dengan maksimal ketika cerita mulai bergulir. Florence Pugh berhasil menjadi magnet utama yang memikat penonton setiap kali muncul.

Review Layar Lebar Thunderbolts*: Geng Thunderbolts yang dibangun dalam konsep ragtag alias kumpulan orang chaos itu lantas tercermin lewat chemistry anggotanya. (Marvel Studios)

Penonton dengan mudah masuk ke dunia Yelena sejak awal karena langsung menggebrak lewat aksi terjun dari puncak Merdeka 118, gedung tertinggi kedua di dunia yang berada di Malaysia.

Kemampuan akting Florence Pugh yang diakui banyak orang Bahkan kembali terbukti ketika mengenakan tactical suit Yelena. Aktingnya kali ini semakin berkesan karena sisi lain Yelena Pada akhirnya muncul, termasuk kegetiran dan rasa bersalah yang bersarang dalam hatinya.

Nama-nama lain, seperti Sebastian Stan, David Harbour, Wyatt Russell, dan Hannah John-Kamen ikut tampil solid sebagai karakter yang kerap dipandang sebelah mata.

Di sisi lain, debutan Lewis Pullman dan Julia Louis-Dreyfus yang belakangan kerap muncul di kejadian penting MCU sama-sama memberi angin segar lewat penampilannya.

Geng Thunderbolts yang dibangun dalam konsep ragtag alias kumpulan orang chaos itu lantas tercermin lewat chemistry anggotanya. Mereka menunjukkan hubungan yang perlahan berkembang dari saling serang Sampai sekarang menjadi kuat karena solidaritas.

Di luar urusan itu, Thunderbolts* menjawab berbagai pertanyaan tentang MCU yang tidak kunjung dijelaskan, terutama terkait alur Ke arah Fase Keenam atau penutup Multiverse Saga.

Layar Lebar ini Pada akhirnya Menyediakan secercah petunjuk tentang peristiwa yang menjadi gerbang masuk ke Avengers: Doomsday (2026). Bagi pencinta setia MCU, bagian ini sayang dilewatkan dan cukup krusial sebagai persiapan Ke arah dua Layar Lebar Avengers mendatang.

(end)


[Gambas:Video CNN]

Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA

Exit mobile version