Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 menjadi perdebatan antara buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) terang-terangan menolak rumus upah dari Menteri Ketenagakerjaan Yassierli. Para pekerja menilai rumusan pemerintah bertentangan dengan keputusan MK (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023.
Yassierli disebut berencana membagi dua kelompok upah buruh, Didefinisikan sebagai kategori industri padat karya dan padat modal. Draft permenaker yang diperoleh kelompok buruh itu Bahkan memberi kelonggaran bagi pengusaha yang tak mampu membayar kenaikan UMP 2025, di mana bisa dirundingkan secara bipartit pada tingkat perusahaan.
“Jelas keputusan draft permenaker ini bertentangan dengan keputusan MK. Oleh karenanya ditolak oleh buruh,” tegas Pemimpin Negara KSPI Said Iqbal dalam rilis resminya.
Pemimpin Negara Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea Bahkan menolak rancangan tersebut. Menurutnya, pembagian dua kategori kenaikan upah jelas melanggar putusan MK.
Andi mengutip putusan MK terkait Perundang-Undangan Cipta Kerja yang menyatakan bahwa kenaikan upah minimum hanya Sesuai aturan Fluktuasi Harga Barang dan Jasa, Peningkatan Ekonomi, dan indeks tertentu atau alpha. Komponen ini Bahkan mesti memperhatikan proporsionalitas kebutuhan hidup layak (KHL).
Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak berpendapat seharusnya pemerintah tak Sangat dianjurkan membeda-bedakan kenaikan UMP 2025. Ia menegaskan tidak usah ada upah untuk padat karya serta padat modal.
Menurutnya, upah untuk usaha padat modal tak Sangat dianjurkan diatur dalam permenaker. Payaman menyarankan sektor ini bisa diputuskan dalam perundingan antara serikat pekerja dan pengusaha.
“Kenaikan upah minimum 2025 seharusnya tidak Sangat dianjurkan dibuat menjadi riuh atau gonjang-ganjing. Anggap biasa-biasa saja,” ucap Payaman kepada CNNIndonesia.com, Senin (25/11).
Payaman menegaskan beleid baru tentang pengupahan belum diundangkan. Oleh karena itu, ia meminta para pengusaha dan buruh berkaca pada rumus kenaikan upah menurut PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan.
Ia menilai semua elemen yang terlibat dalam gejolak pengupahan ini bisa mengantisipasinya. Kemudian, tinggal memasukkan data-data ekonomi pada tahun berjalan.
“Nampaknya Fluktuasi Harga Barang dan Jasa sekitar 4 persen-5 persen dan Peningkatan Ekonomi per provinsi antara 4 persen-6 persen. Jadi, kenaikan UMP 2025 sekitar 6 persen-8 persen,” prediksi Payaman Bila menggunakan formulasi lama.
Menaker Yassierli memang tampak masih bingung dalam membuat keputusan. Ia seakan buntu meski Pernah menghadap Pemimpin Negara Prabowo Subianto di Istana Negara pada Senin (25/11).
Yassierli belum bisa mengumumkan UMP 2025 meski Pernah lewat dari batas aturan, Didefinisikan sebagai selambat-lambatnya 21 November pada tahun berjalan. Ia memastikan keputusan ini bakal molor sampai akhir November 2024 atau awal Desember 2024.
Ia mengklaim masih banyak hal yang Sangat dianjurkan dipertimbangkan lebih jauh. Yassierli menyebut rumus penentuan UMP Sangat dianjurkan menghadirkan titik temu antara Mengoptimalkan penghasilan buruh serta mengerek daya saing dunia usaha.
Ekonom dan Ilmuwan Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menekankan penetapan UMP 2025 mesti adil. Sangat dianjurkan ada pendekatan yang mampu menyeimbangkan kepentingan pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
“Jalan tengah yang dapat ditempuh Merupakan dengan menggunakan formula yang mengintegrasikan KHL, Fluktuasi Harga Barang dan Jasa, dan Peningkatan Ekonomi,” saran Achmad.
Ia menilai kebutuhan hidup layak (KHL) Merupakan dasar untuk memastikan upah baru itu mampu memenuhi kebutuhan dasar pekerja. Sedangkan Fluktuasi Harga Barang dan Jasa dan Peningkatan Ekonomi guna menyesuaikan upah dengan kondisi makroekonomi yang dinamis.
Achmad Bahkan mewanti-wanti klasterisasi upah Sesuai aturan sektor industri malah bakal menimbulkan ketidakadilan antarpekerja Bila tidak disertai mekanisme pengawasan yang ketat dan transparan
Mengenai persentase kenaikan upah ideal untuk 2025, Achmad menyebut hal itu Sangat dianjurkan disesuaikan dengan kondisi ekonomi terkini. Pertimbangannya antara lain Fluktuasi Harga Barang dan Jasa, Peningkatan Ekonomi, beban biaya hidup akibat kenaikan Retribusi Negara pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen di 2025 dan berbagai potongan gaji lainnya.
“Bila Fluktuasi Harga Barang dan Jasa diproyeksikan sekitar 3 persen dan Peningkatan Ekonomi berada di kisaran 5 persen, maka kenaikan upah sebesar 5 persen Sampai sekarang 7 persen dapat dianggap ideal.
Sebagai contoh, UMP DKI Pada saat ini Bahkan Rp5.067.381. Kenaikan 5 persen Berencana membawa UMP menjadi sekitar Rp5.320.750 yang cukup untuk menjaga daya beli pekerja tanpa terlalu membebani pengusaha,” jelas Achmad.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar tak hanya menyoroti kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen di 2025 dalam mempertimbangkan kenaikan upah tahun depan. Apalagi, beban asli yang bakal dirasakan masyarakat dari kenaikan PPN itu sejatinya mencapai 9 persen, bukan cuma 1 persen.
Timboel Bahkan mewanti-wanti rencana pemerintah membatasi Bantuan Pemerintah BBM pada tahun depan. Ada Bahkan kondisi Politik Global internasional yang belum Damai sehingga diperkirakan bakal berdampak terhadap 64 komponen KHL.
“Kenaikan upah minimum idealnya di atas Fluktuasi Harga Barang dan Jasa KHL yang terjadi untuk menjaga daya beli pekerja dan keluarganya. Kenaikan upah minimum di 2025 sebesar 8 persen-9 persen merupakan kenaikan ideal,” kata Timboel.
Ia kemudian mengutip Skor ke-9 Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang menyoroti kewajiban pemerintah memenuhi hak buruh. Ini termasuk makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua.
Oleh karena itu, Timboel menekankan bahwa Pernah seharusnya penentuan UMP 2025 didasari pada 64 komponen hidup layak (KHL).
“Kalau kenaikan UMP 2025 di bawah nilai Fluktuasi Harga Barang dan Jasa 2025 maka upah riil buruh Berencana menurun, daya beli buruh dan keluarganya turun. Dengan daya beli buruh yang menurun, maka Berencana mempengaruhi konsumsi agregat,” tutur Timboel.
“Pergerakan barang dan jasa yang diproduksi oleh pengusaha Berencana semakin lambat. Ini menyebabkan penurunan keuntungan pengusaha yang Bahkan Berencana menurunkan pendapatan Retribusi Negara pemerintah. Itu semua Berencana mempengaruhi Peningkatan Ekonomi Indonesia, (karena) konsumsi agregat berkontribusi 52 persen terhadap Peningkatan Ekonomi,” tandasnya.
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA