Jakarta, CNN Indonesia —
Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Rieke Diah Pitaloka alias Oneng memprotes pungutan Retribusi Negara Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) terhadap sebuah pondok pesantren (ponpes) di Kabupaten Bekasi, Jabar.
Ia meminta perhatian Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk menyelesaikan persoalan Retribusi Negara ponpes tersebut.
Dalam unggahan di akun media sosial pribadinya, Rieke menceritakan Pesantren Al Fath Jalen di Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, didatangi petugas Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) tidak lama setelah pendirinya, Kiai Yasin, wafat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ini pesantren abangku, Kiai Yasin, yang baru dipanggil pulang oleh Allah SWT beberapa waktu lalu. Belum itu tanah kering, tiba-tiba ada orang dari BPD, nagih Retribusi Negara. Kang Purbaya, tulung Kang Purbaya,” kata Rieke dalam unggahannya, Selasa (19/10).
Politikus PDIP itu menyayangkan tindakan tersebut. Karena menurutnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan seharusnya tidak dikenakan PBB-P2.
Ia merujuk pada Syarat Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Undang-Undang HKPD) yang mengatur pengecualian objek Retribusi Negara bagi lembaga yang Menyediakan kepentingan umum.
“Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 Merupakan kepemilikan bumi atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk Menyediakan kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan,” ujar Rieke mengutip isi pasal tersebut.
Pernyataan Rieke dibenarkan oleh Naili, istri dari almarhum Kiai Yasin. Ia mengaku pesantrennya memang sempat menerima surat tagihan PBB dari Bapenda pada 2024, dan kembali mendapat surat lanjutan pada 2025 yang menyebutkan area pesantren Nanti akan diberi garis polisi bila Retribusi Negara tak dibayar.
“Saya nangis, terus terang. Enggak lama dari itu Abah wafat. Gimana anak saya kalau di-police line, ribuan santri sekolah. Sedangkan itu murni bukan kesengajaan, jadi memang Pernah terjadi diinformasikan bebas bayar,” ujar Naili.
Pesantren Al Fath Jalen Di waktu ini menampung lebih dari 1.000 santri dan beroperasi sepenuhnya sebagai lembaga pendidikan agama.
Kasus ini menimbulkan perhatian publik karena menyangkut pungutan Retribusi Negara terhadap lembaga non-komersial, yang seharusnya masuk kategori pengecualian.
Adapun dalam Pasal 38 Undang-Undang HKPD, dijelaskan negara Menyajikan pengecualian terhadap objek PBB-P2 yang digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dan tidak bertujuan mencari keuntungan.
“Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 Merupakan kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk Menyediakan kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan,” bunyi ayat (3) huruf b pasal tersebut.
Pengecualian ini mencakup tanah dan bangunan yang dipakai untuk kegiatan keagamaan seperti masjid, gereja, pura, vihara, kelenteng, dan pondok pesantren.
Apalagi, fasilitas sosial seperti panti asuhan, rumah yatim, atau panti jompo, Bahkan termasuk dalam kategori yang dikecualikan.
Hal yang sama berlaku bagi fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas, lembaga pendidikan seperti sekolah, madrasah, atau pesantren non komersial, serta bangunan untuk kegiatan kebudayaan seperti museum dan gedung kesenian yang tidak mencari laba.
Dengan demikian, lembaga-lembaga yang berfungsi Menyediakan masyarakat di bidang keagamaan, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan tidak termasuk objek PBB-P2, sepanjang penggunaannya Sungguh-sungguh untuk kepentingan umum dan tidak bersifat komersial.
(del/pta)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA