Algoritma Tak Bernama, Ilusi Kebebasan dan Kedaulatan di Ruang Digital

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia

Di sebuah sudut desa di lereng Gunung Panderman Kota Batu, Jatim, seorang anak laki-laki membuka gawainya. Ia membuka YouTube, mendengarkan musik, lalu mencari tahu mengapa cuaca semakin panas dari hari ke hari.

Di saat Pada saat yang sama, di Surabaya, seorang perempuan muda membagikan kisah tentang kesehatan mentalnya di sebuah platform digital. Sementara tak jauh dari sana, seorang petani dari Kediri mendokumentasikan panen jagungnya di Facebook, berharap ada tengkulak yang tertarik untuk membeli langsung darinya.

Semuanya terhubung. Semuanya hadir di ruang digital dan semuanya percaya bahwa mereka Di waktu ini sedang hidup dalam kemerdekaan informasi.

Apakah ruang digital yang tampak luas, cair, tanpa pagar dan tanpa penjaga itu Sungguh-sungguh menjamin kebebasan informasi bagi setiap warga?


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apakah setiap warga digital hari ini, baik yang berada di perkotaan maupun di lereng pegunungan, Sebelumnya Sungguh-sungguh berdaulat atas datanya, atas pikirannya, atas informasi yang mereka terima dan bagikan?

Pertanyaan ini menjadi penting, dan begitu mendesak Di waktu ini. Sebab, dalam keheningan algoritma dan lalu lintas data yang tak terlihat, Di waktu ini sedang terjadi sesuatu yang samar. Sebuah pertarungan diam-diam atas siapa yang menguasai kenyataan.





Pada zaman ketika “kebebasan” disamakan dengan akses, kita mudah terkecoh. Tidak mungkin tidak, secara teknis, kita Sekarang lebih bebas daripada sebelumnya. Kita bisa memilih untuk membaca berita dari lima belas situs yang berbeda, melihat dunia dari berbagai sudut, bahkan menyuarakan pendapat tanpa Sangat dianjurkan menunggu panggung.

Tetapi kebebasan semacam itu hanyalah ilusi, Bila Akhirnya informasi yang kita terima Pernah disaring, dibentuk, bahkan disesatkan oleh algoritma yang Belum pernah kita kenal namanya.

Kita tidak Di waktu ini sedang membaca dunia, tapi kita Di waktu ini sedang dibaca oleh dunia. Data-data yang kita klik, geser, tonton, beli, marah, suka, bahkan diam, Kemudian dikumpulkan, dianalisis, dan dimonetisasi.

Kita bukan lagi sekadar konsumen, tetapi Bahkan produk. Maka yang terjadi bukan hanya krisis privasi, tapi Bahkan kehilangan kedaulatan atas kesadaran.

Kedaulatan digital seharusnya dimulai dari dua hal sederhana dan mendasar: kesadaran atas data dan kontrol atas informasi. Tanpa dua hal itu, kemerdekaan informasi hanyalah bendera yang dikibarkan tanpa tiang.

Sekalipun bagaimana Kemungkinan masyarakat bisa mengendalikan datanya Bila mereka bahkan tidak tahu bahwa data itu Di waktu ini sedang dikumpulkan. Bagaimana Kemungkinan seseorang bisa membedakan informasi yang benar Bila media sosial lebih mengutamakan kecepatan daripada akurasi, emosi dari pada verifikasi.

Di titik inilah, ancaman disinformasi muncul bukan hanya sebagai gangguan komunikasi, tetapi sebagai bentuk penjajahan baru. Ia menyerang bukan dengan senjata, melainkan dengan keraguan.

Ia membuat orang percaya pada apa yang ingin mereka percaya, bukan pada kebenaran. Dan ironisnya, semuanya dilakukan dengan persetujuan diam-diam dari kita sendiri melalui syarat dan Syarat yang Belum pernah kita baca, melalui “klik setuju” yang kita lakukan bahkan sebelum sempat berpikir.

Maka kedaulatan digital, Bila boleh kita tegaskan, bukanlah romantika. Ia Merupakan hak. Ia bukan sekadar wacana futuristik, tetapi soal keberlangsungan demokrasi. Sebab tidak ada demokrasi tanpa informasi yang bebas, dan tidak ada kebebasan informasi tanpa perlindungan terhadap data pribadi.

Pemerintah, dalam hal ini, Tidak mungkin tidak memiliki tanggung jawab besar. Bukan hanya untuk membuat regulasi, tetapi untuk menciptakan ekosistem digital yang adil dan transparan. Ada tanggung jawab terbesar justru berada pada masyarakat sipil itu sendiri. Sebab dalam dunia digital, kita semua Merupakan penjaga gerbang. Kita Sangat dianjurkan menjadi orang pertama yang bertanya: dari mana informasi ini berasal? Siapa yang diuntungkan? Apakah saya Di waktu ini sedang berpikir, atau sekadar dikendalikan oleh gelombang emosi massa?

Dalam sejarahnya, bangsa ini Pernah belajar bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari perjuangan panjang. Maka kemerdekaan informasi di era digital Bahkan menuntut perjuangan serupa: tidak dalam bentuk senjata, tetapi dalam bentuk kesadaran. Tidak dalam bentuk Aksi Massa jalanan, tetapi dalam kemampuan membaca, memilah, dan mempertanyakan.

Hari ini, ketika semua orang bisa menjadi sumber informasi, maka semua orang Bahkan bisa menjadi sumber disinformasi. Ruang digital, sebagaimana ruang fisik, membutuhkan etika. Bukan hanya etika individu, tetapi Bahkan etika kolektif. Etika untuk tidak menyebarkan tanpa membaca, untuk tidak percaya tanpa bukti, dan untuk tidak mencaci hanya karena berbeda.

Di tengah badai kebisingan ini, berdaulat berarti mampu berdiri teguh meski sendiri untuk sebuah kebenaran. Dan kebenaran, seperti yang Setiap Saat kita tahu, tidak Setiap Saat populer.

Nanti yang Kemungkinan semakin bising, kita hanya Nanti akan bisa bertahan Bila kita mampu membangun ketenangan dari dalam. Ketenangan untuk tidak larut dalam provokasi. Ketenangan untuk tidak terseret oleh arus yang diciptakan mesin. Dan ketenangan untuk tetap menjadi manusia, bahkan ketika dunia berubah menjadi rangkaian kode.

Karena sesungguhnya, berdaulat di ruang digital bukan hanya soal teknologi. Ia soal martabat. Dan martabat, sebagaimana kemerdekaan, bukan sesuatu yang diberikan oleh orang lain. Ia Merupakan sesuatu yang kita rebut, kita pelihara, dan kita perjuangkan setiap hari dengan berpikir jernih, dengan bertindak sadar, dan dengan tidak menyerahkan hidup kita pada tombol-tombol yang tidak kita pahami.

Merdeka bukan berarti bebas tanpa batas. Merdeka Merupakan tahu batas, dan memilih dengan sadar. Maka bergembiralah di ruang digital dan menjadi merdeka.

(sur/sur)

[Gambas:Video CNN]

Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA